Menatap Harapan,
150 x150 cm, Oil and Digital Print, 2010
oleh: Adam Wahida
*] Memaknai Perubahan Budaya
Perubahan
kebudayaan selalu menawarkan sesuatu yang baru sebagai sebuah bentuk
pemaknaan ulang hingga terjadinya dekonstruksi alur pemahaman pikiran
yang banyak tervisualkan dalam idiom-idiom yang menjadi tanda
sebuah kebudayaan. Gaya hidup manusia merupakan salah satu ruang yang
memberikan kesempatan untuk berbagai efek simulasi dari pemahaman baru
tentang kebudayaan. Fenomena
untuk membenturkan kosakata (idiom) baru dengan idiom tata nilai budaya
yang sebelumnya, untuk mengetahui apa yang bisa disinkronkan atau
ditinggalkan, diganti dengan kosakata kekinian. Hal ini melahirkan
banyak efek yang tidak hanya bersifat individual namun telah merambah ke
lingkungan sosial yang lebih luas.
Dimulai dengan kegagapan terhadap perubahan, simulasi-simulasi ceroboh
yang dilakukan tanpa kesadaran dan pemaknaan, kedangkalan akan
pemahaman sebuah nilai, menjadikan posisi tawar identitas manusia
menjadi labil dan cenderung stagnan. Ambiguitas menjadi hal yang sering
kita lihat sehari-hari, ketika idealisme kemanusiaan terabaikan oleh
simulasi-simulasi yang dilakukan. Apa yang harus diikuti, kosakata apa
yang lebih baik untuk dikenakan, idiom mana yang sesuai dengan
kepribadian, menjadi hal yang terus harus dicari dalam lautan simulasi.
Pergeseran
kebudayaan selalu melahirkan beragam penafsiran dan pemaknaan akan
nilai-nilai lama dan kosakata baru kebudayaan yang hadir dalam lingkup
masyarakat kita. Shock of the new,
adalah fenomena yang muncul dalam setiap tingkah masyarakat kita
sekarang. Kegagapan melihat perubahan yang terjadi, munculnya tren yang
memaksa untuk terus di update
dan diikuti, yang secara tidak sadar akhirnya kita pun terlenakan
realitas yang ada di depan mata, hingga pada suatu waktu akan muncul
sebuah kesadaran tentang kondisi yang tidak akan ada habisnya untuk
dituruti dan diikuti. Titik jenuh yang mulai muncul, hingga hadirnya
kesadaran pentingnya pemaknaan terhadap sebuah nilai, akan membawa kita menyadari kembali betapa berharganya tata nilai dari kebudayaan lalu yang telah kita tinggalkan.
Berpijak dari pandangan di
atas, saya mencoba untuk memahami kembali bagaimana proses simulasi itu
memberikan efek-efek ambiguitas yang terlihat dalam keseharian kita.
Tak jarang kita lihat sehari-hari, manusia dengan kepandaiannya,
membenturkan tatanan nilai dari sebuah kebudayaan dengan idiom visual
kebaruan. Sebagai contoh munculnya idiom visual sepatu highels, cat rambut, rebonding,
tatto alis, kawat gigi, hingga senam seks sebagai tanda kekinian
(baca:fesyen masa kini) yang dihadapkan pada kekentalan kearifan budaya
lokal, telah menciptakan ambiguitas pada tatanan nilai yang ada.
**] Menatap Pergeseran Peran
Ketika
laki-laki mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik, maka wanita
secara biologis memiliki kelebihan sebagai ibu. Wanita bisa hamil,
melahirkan, dan menyusui. Kelembutan, kasih sayang dan pengorbanan
dirinya yang paling sesuai yaitu dalam mengasuh anak-anak dan mengurus
rumah tangga. Segala sesuatu yang dilakukannya untuk rumah tangga dan
anak-anak sangatlah berharga. Seorang wanita telah memainkan peran dan
tugas yang mulia sebagai ibu dari sebuah generasi, ini merupakan peran
yang tidak seorang pun pria bisa mendapatkan kehormatan seperti itu.
Adanya perbedaan
biologis terbesar antara pria dan wanita menandakan bahwa kedua jenis
kelamin ini tidak saling menduplikasi satu sama lain, masing-masing
bukan berjuang untuk memenuhi peran yang sama dan bertingkah laku dengan
cara yang sama. Sebaliknya mereka saling melengkapi, melaksanakan
kelebihannya masing-masing dan menutupi kelemahan pasangannya.
Sejalan dengan perubahan
budaya, fenomena emansipasi wanita melahirkan tanggapan yang banyak
ragam. Sejak diproklamirkannya, emansipasi tersebut telah mampu membuka
ruang derajat sosial wanita untuk sejajar dengan pria. Salah satu budaya
masyarakat kita, yang dulu memposisikan ”wanita sebagai teman belakang”
telah bergeser menjadi partner yang sejajar dengan pria, bahkan tidak sedikit yang mampu menjadi leader-nya. Seiring dengan perkembangan jaman, emansipasi tersebut menjadi sebuah tren, berbagai kajian dan studi tentang wanita dan gender
menjadi perhatian besar. Dalam kondisi seperti ini wanita merasa lebih
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dalam segala hal.
Selain sifat naluriahnya yang pandai bersolek (feminin), wanita juga
ingin menampakkan kecenderungannya untuk tampil tangkas dan cerdas.
Berbagai bentuk asesoris yang mendukung agar selalu tampil prima dalam
karir berusaha digapainya. Kenyataan seperti ini tidak bisa dihindari,
hingga dampak yang terjadi adalah maraknya tren fesyen global dan gaya
hidup baru yang secara perlahan mulai meninggalkan kearifan lokal.
Masih terngiang dalam ingatan, ketika
boneka Barbie pertama kali masuk ke tanah ini pada dekade tahun
delapan puluhan, beberapa pihak menyebut hal ini sebagai simbol awal
terseretnya kita ke dalam arena masyarakat konsumerisme dunia. Sebuah
boneka, yang tak lebih dari sekedar mainan anak-anak, sebuah kebutuhan
kesekian (tersier), tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan perbincangan
yang ramai, tidak hanya bagi anak-anak namun juga orang dewasa. Hasrat
membeli dan mengkonsumsi boneka Barbie kemudian dapat dibaca sebagai
suatu gejala kebiasaan baru, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak
terlalu dibutuhkan. Nilai-guna digantikan nilai-tanda. Lebih dari itu,
boneka Barbie sebenarnya juga menggemakan sebuah fenomena baru dalam
masyarakat konsumerisme dan simulasi, yakni fenomena hiperrealitas;
sebuah gejala dengan bertebarannya realitas-realitas buatan yang nampak
lebih nyata dibanding realitas sebenarnya.
Permainan tanda-tanda visual tersebut merupakan representasi sekaligus
persepsi atas kecenderungan wanita kita yang mencoba menerima masuknya
budaya fesyen barat dan mengamininya secara sepintas, sedangkan disatu
sisi budaya fesyen lokal masih cukup kuat melingkunginya.
Kenyataan hadirnya
fenomena hiperrealitas dalam segala ruang, mulai dari gosip,
infotainment, sinetron hingga situs web telah menjadi gaya hidup dan
tren yang sulit dihindari. Hanyalah kesadaran yang kuat untuk memilah
dan memilih sesuai kebutuhan, menjadi saringan diri. Bagi wanita, tampil
feminin memang sudah selayaknya, karena itu kodrati, tetapi jika
feminin dicampurkan dengan ke-sexy-an yang fulgar maka secara langsung
justru telah merendahkan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia.
Dalam
hal ini, marilah kita mencoba untuk memaknai kembali penampilan visual
wanita kita ditengah kehidupan yang masih memiliki citra lokalitas,
telah berbenturan dengan tatanan fashionable
dan gaya hidup global. Bagaimana masyarakat wanita kita sekarang
memandang apa-apa yang telah mereka tinggalkan ?. Terdapat suasana ironi
yang ingin ditampakkan, sebagai sebuah pembacaan akan mulai munculnya
kesadaran masyarakat kita berikut kejenuhan terhadap nilai-nilai
kebaruan yang ada. Marilah kita maknai setiap jengkal perubahan yang
terjadi !. Bersama publik, kita amati dan pahami proses dialogis antara
dua sistem nilai kebudayaan, berikut efek yang terjadi sebagai bagian
simulasi kebudayaan yang diberlakukan. Fenomena kegagapan yang
menjangkiti setiap manusia, telah menciptakan ambiguitas pada tatanan
sosial masyarakat.
Berkembangnya
fenomena budaya massa yang telah melintasi batas kultural, bukan saja
berpijak pada sudut pandang sifat konsumtif manusia, namun lebih dari
itu permasalahan budaya massa tidak dapat dilepaskan dari permasalahan
identitas. Ketika manusia dihadapkan, bahkan terlenakan pada beragamnya
pilihan produk kebudayaan maka secara sadar maupun tidak, proses
pencarian terhadap identitas yang membangun norma dan tatanan nilai
kultural menjadi satu hal yang penting untuk dikaji.
WELEH WELEH TAPI JANGAN PENGEMAR TANTE TENTE LO BOSSSSS
BalasHapusp.peb....mboten p...cukup njenengan wae...hihi
BalasHapus