WONDER”WARM”MAN
RABER, AKRILIK, SPRAY PAINT ON CANVAS
oleh. Susiawan haryanto*(HARI)
Dalam
era industri dan jejalan moderenitas kekinian wanita menjelma menjadi
sebuah produk dalam etalase-etalase kapitalis,ia (baca:wanita) dikemas
dengan stigma bahwa wanita sebagai rangsangan, daya tarik, hingga
menjadi pemuas konsumen sebuah produk. Dunia periklanan apapun produknya
hampir nyaris semua produknya menggunakan kemolekan, keseksian dan
sensualitas wanita sebagai ujung tombak penarik (perangsang) sebuah
hasil produksi. Ketika sensualitas wanita sudah menjadi bagian dan
tujuan dari ruang benak konsumen, maka secara sadar maupun tidak hal
tersebut menempatkan/memposisikan wanita layaknya sapi perahan untuk
pemuas hasrat pasar (baca:kapitalis)
Budaya
(popular) tersebut lahir dari rahim modernisme dan dibesarkan oleh
industri sebagai instrumen utama kapitalisme sehingga ia (perempuan)
punya andil besar membentuk dan memproduksi dinamika kehidupan
masyarakat dalam mendefiniskan dan memproyeksikan dirinya. Posisi wanita
(sensualitas) begitu sangat mempesona dan merangsang keinginan kita
(baca:sebagian besar dari kita) karena dalam benak sebagian dari kita
memahami wanita hanya sebatas sexsualitas bukan pada sisi yang lebih
dalam dari diri wanita. Pola pikir tersebut begitu sangat membabi buta
dan liar bermain dalam benak konsumen (kita) hingga pada tataran
meng-konsumsi produk industri malah keluar dari esensi produk itu
sendiri.
Wonderwomen: Selalu Berdendang Ria Dalam Etalase Mesin Industri
Perubahan
akan tututan moderisme menyebabkan sebagian dari kita menjadi manusia
yang begitu takluk dan patuh pada hukum mesin-mesin kapitalis. kita
menjelma menjadi koloni robot-robot organik dalam gelombang besar dan
siklus pasar industri (baca:kapitalis) dengan segala buaian, impian atau
bahkan resiko. Kemunculan wanita sebagai panglima besar sirkus pasar
kapitalis merupakan sebagaian kecil “produk” gerakan feminisme. Dalam
pandangan idelistik menyatakan bahwa feminisme digerakan oleh
suprastruktur yaitu kesadaran tentang adanya ketimpangan, ketidakadilan
gender. Tetapi justru dalam pandangan materialisme budaya mengatakan
bahwa gerakan feminisme tersebut lahir dari infrastruktur ,yaitu oleh
produksi dan reproduksi secara masif. Dalam hal ini (menurut: materialis
budaya) perkembangan gerakan feminisme begitu sangat didukung adanya
media dan teknologi informasi sehingga gagsan akan feminisme nyaris
tidak ada sekat budaya, terotorial dan waktu.
Perempuan
dalam dunia industri selalu menempatkan perempuan sebagai objek
(perangsang nilai jual), ia (perempuan) dikemas dan dipertontonkan
dengan yang ditonjolkan. Demikian pula fiksi romantis yang mereproduki
budaya patriarki, perempuan disuapi dengan cinta sejati. Opera sabun
yang membahayakan kesadaran politik perempuan. Praktik fashion dan
kecantikan yang telah mendikte perempuan untuk diarahkan. Pada kutub
yang lain, budaya anak muda serta musik pop, terus menerus memproduksi
ilusi-ilusi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan aneka macam bentuk
budaya yang menghilangkan identitas budaya dan kreatifitas.
Kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan dalam pola kehidupan menjadi
salah satu ciri khasnya
Dikontruksi Feminisme : Wacana Pembalikan Peran
Melihat
persoalan akan pergerakan pemahaman dan aktualisasi dari feminisme
akhirnya persoalan dari feminisme bukan sekedar berhenti pada tataran
kesetaraan gender. Kesetaraan gender haruslah disikapi dengan kearifan
dan tidak serta merta meluluhlantahkan kodrat “dua kelamin”. Dalam
konteks social-budaya kekinian yang terjadi bukan siapa mengkorbankan
siapa dan siapa korban siapa karena pada banyak kasus yang terjadi
adalah kepentingan pria selalu dibawah kendali seorang perempuan.
Istilah parodi tentang “Istiqomah” ikatan swami takut istri kalo dirumah
begitu banyak kita temui untuk mengistilahkan betapa kendali istri
begitu kuat dan penggaruhnya terhadap benturan kepentigan swami.
Kekonyolan dalam suatu hubungan tersebut malah menjadi produk
(dipertontonkan) pada khalayak umum (penikmat media) bahwa kendali
perempuan (istri) begitu sangat nyata dalam sebagian besar masyarakat?.
Gerakan
feminisme yang awalnya memperjuangkan ‘kesetaraan “ sekarang cenderung
mengarah pada isu “perbedaan” dengan tujuan-tujuan perubahan baru yang
berkesinambungan dengan “teori-teori” baru pergerakan sosial. Dalam
tataran idealistik sebenarnya setiap diri kita (laki-laki, perempuan)
mempunyai peran menurut kodrat dan porsi diri, tinggal bagaiman kita
mensikapi setiap ruang perbedaan yang ada. Semoga perbedaan kelamin
diantara kita bukan selalu menjadi perdebatan untuk disetarakan dan
semoga perbedaan itu menjadi kenikmatan setiap diri dari kita dalam
menjalani perbedaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar